Website ini kami buat supaya kita bisa mengenal lebih jauh sanggar tari Darma Giri Budaya. Sanggar tari ini bertempat di padepokan Darma Giri Budaya di desa Pokoh Kelurahan Wonoboyo Kec Wonogiri. Sanggar tari adalah sanggar tari yang telah mengikuti berbagai event tingkat Nasional dan banyak event event dalam tingkat Jawa Tengah, dll.
Berawal dari saya sangat prihatin sekali melihat kondisi kesenian rakyat di daerah Wonogiri yang sebenarnya sangatlah potensi, menarik dan atraktif sekali, tetapi seakan-akan belum pernah adanya suatu pembinaan dari lembaga seni, instansi kebudayaan dan bahkan juga belum pernah terjamah atau tersentuh oleh para seniman, mahasiswa seni serta para alumnus seni yang berada di Kabupaten Wonogiri. Salah sutu bentuk kesenian rakyat tersebut adalah adalah kesenian rakyat kucingan.
Bahwa kesenian rakyat kucingan sebenarnya berasal dari Kabupaten Ponorogo, karena daerah Kabupaten Ponorogo dengan Kabupaten Wonogiri sangat berdekatan, maka tidak heran kalau kesenian rakyat kucingan bisa hidup dan berkembang di daerah Wonogiri. Suatu contoh grup kesenian rakyat kucingan yang berada di daerah dusun Rejo Sari, desa Ngadirojo Kidul, Kecamatan Ngadirojo yang sampai sekarang masih eksis sering mengadakan pelatihan serta juga sering pentas : diantaranya event-event penting Hari Jadi Kabupaten Wonogiri, HUT Kemerdekaan R I, pentas ditempat orang punya hajat dan di acara kegiatan lainnya. ( wawancara pimpinan grup kesenian rakyat kucingan Bpk Wakimin didusun Rejosari, desa Ngadirojo Kidul, Kecamatan Ngadirojo ).
Keaslian kesenian kucingan ini dalam sajiannya hanya terdapat 2 ( dua ) tokoh yaitu kucingan ( kepalanya dadak merak ) itu sendiri yang bentuknya seperti dadak merak tetapi tidak menggunakan merak dan tokoh ganongan, dan property yang sering dipakai untuk atraksi adalah meja, bambu panjang dan tali atau tambang besar ( dadung ). Saya sering mengpresiasi kesenian kucingan ini, tapi sajiannya sangatlah sederhana sekali dan masih pertunjukan mbarangan sekali, meskipun sajiannya sederhana dan monoton, tetapi ada sengatan – sengatan yang justru membikin saya tertarik yaitu saat permainan naik meja, naik bambu yang panjangnya sekitar 6 – 8 m, kemudian tambang besar diikatkan pada kedua bambu panjang tersebut, sedangkan alat musik atau instrumennya adalah sama seperti kesenian reog ponorogo yaitu kendang, ketipung, ketuk dua, angklung dua, gong lalu terompet, dan ada warna musiknya yang sangat dominan adalah suara / vocal penyenggak dengan menirukan suara macan atau kucingan.
Oleh karena keunikan dan kelugasan dari kesenian kucingan tersebut, saya sangat tertarik sekali untuk menggarap dan mengemas dalam bentuk kemasan tari yaitu tarian dalam bentuk kelompok, yaitu 2 tokoh kucingan dan 3 ganongan. Menurut saya kesenian kucingan tersebut dalam pertujukannya mempunyai suatu daya tarik dan keunikan tersendiri serta atraktif sekali, maka perlu adanya penggarapan dan penataan baik gerak tari, suasana dan garap musiknya supaya terkesan indah dan menarik apabila ditonton. Sebab sajian pementasannya dengan waktu yang padat dan pendek.
Tari kuda kepang ini merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang masih berkembang dengan bentuk yang beragam di kabupaten Wonogiri,Jawa Tengah.Kisahnya menceritakan pasukan prajurit berkuda dari Raja Prabu Klono Sewandono yang sedang bergladi atau berlatih perang untuk mempersiapkan diri melawan musuh. Tari kuda kepang ini mengekspresikan gerak-gerik sekelompok pasukan berkuda.Dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,kabersamaan,semangat,ketrampilan dan atraktif. Iringannya menggunakan campuran instrument gamelan jawa dan gamelan reog,alat perkusi tradisional dan penggarapan olah vocal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.
Banyak sekali bentuk kegiatan anak-anak yang sering dilakukan sewaktu pulang dari sekolah atau masa liburan,contohnya kegiatan mancing,mlintheng manuk,nulup,mandi di sungai dan masih banyak lagi bentuk kegiatan yang lainnya. Dan saya sering sekali melihat bentuk kegiatan tersebut,salah satunya “ nulup “, tetapi nulup manuk.
Berawal dari sering melihat kegiatan tersebut dan punya daya tarik serta keunikan yang menarik,saya mempunyai gagasan untuk menggarap dan mengemas ke dalam bentuk tarian,dan yang lebih unik lagi adalah nulup manuk. Bahannya tulupnya terbuat dari bambu kecil dan tanah liat sebagai alat untuk nulup.
Dari gagasan dan ispirasi yang kuat,saya akan mencoba menggarap dan mengemas ke dalam bentuk tarian yaitu tari tradisional,dengan nuansa kekanakan,kecerian dan keluguan dari si bocah dengan membawa senjata tulup dan manuk atau burung sebagai sasaran dari si bocah tersebut.
Keceriaan,kegembiraan,kesenangan anak-anak yang lugas dalam melakukan kegiatan yang mereka sangat sukai. Dalam hal ini saya mencoba menggarap serta mengemas kelincahan,ketrampilan dan ketrengginasan si bocah dalam memburu manuk yang mereka sayangi dan senangi.
Mereka memburu tidak untuk dibunuh dan dimakan,tetapi dari hasil buruan tersebut akhirnya dipelihara dan dirawat dirumah. Dan hasil dari buruan tersebut bisa untuk hiburan dirumah.
Kami pernah mengadakan pembinaan dan apresiasi pada salah bentuk Kesenian Rakyat yang ada di desa Nggunan Daerah Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, kesenian itu adalah kesenian Srandul, ( kesenian Srandul di desa Nggunan ini sudah jarang sekali tampil / pentas bisa dikata hampir “ mati “ ). Kesenian Srandul tersebut bercerita dan banyak sekali tokoh pemainnya diantaranya ada tokoh Raden Gayong, Raden Semut Rambut, Raden Jalak Ireng, Emban, Badut dan masih banyak sekali tokoh / peran lainnya.
Berawal dari kegiatan tersebut kami sangat tertarik sekali untuk menggarapnya pada bentuk Kemasan Tari. Ketertarikan kami adalah pada salah satu tokoh / peran yang berkarakter santai, lugas, ceria, gecul dan mbanyol ( dialog lucu ) yaitu Tokoh Badut, dan sesekali mbanyolannya tersebut bisa mentertawakan penonton. Bentuk Riasnya hampir sama dengan rias penthul tembem, dan Busanapun sangat sederhana sekali. Iringannya menggunakan gamelan Jawa Slendro / Pelog dan terbang atau rebana dengan bentuk garap iringan yang sangat sederhana serta monoton.
Dalam cerita tersebut, Badut merupakan abdi / batur dari Raden Gayong, yang pekerjaannya adalah tukang bersih-bersih / nyapu latar, angon sapi atau kambing, petani dan selalu mengikuti dimana perginya Raden Gayong.
Karena ketertarikan pada tokoh si Badut tersebut, kami mempunyai “ Ide “ untuk mengekspresikan, menggarapnya dan mengemas pethilan dari salah satu pertunjukan kesenian Srandul, yaitu pethilan tari Badutan dalam bentuk Kemasan Tari berkelomopok. Menurut kami kesenian Srandul pada pethilan tari Badutan tersebut mempunyai daya tarik yang kuat sekali apa bila digarap dan dikemas.
Tari Badutan ini merupakan salah satu bentuk pethilan kesenian rakyat dari kesenian Srandul, bentuk kesenian ini sudah jarang sekali tampil atau pentas di masyarakat sekitarnya, juga di daerah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Kisahnya menceritakan seorang abdi / batur ( pembantu ), yang kesehariannya bekerja menyapu latar, menimba air, motong rumput di kebun, angon hewan piaraan dan tani.
Tari Badutan ini mengekspresikan tokoh karakter dengan gecul atau lucu. Dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan, kabersamaan, semangat kerja, kelucuan, dan sedikit mbanyol.
Iringannya menggunakan instrument gamelan jawa slendro dan pelog, alat perkusi tradisional dan penggarapan olah vocal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.
Kethek Ogleng merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang masih berkembang dengan bentuk yang beragam di kabupaten wonogiri jawa tengah. kisahnya menceritakan seekor kera jelmaan raden gunung sari dalam cerita panji dalam upaya mencari dewi sekartaji yang menghilang dari istana.untuk mengelabuhi penduduk agar bebas keluar masuk desa dan hutan,maka raden gunung sari menjelma jadi seekor kera putih yang lincah dan lucu.
Tari Kethek Ogleng ini dalam mengekspresikannya menggambarkan gerak-gerik sekelompok kera putih.dalam tarian ini terlintas ungkapan kelincahan,kebersamaan,semangat,kelucuan dan atraktif.
Iringannya menggunakan instrumen gamelan jawa,alat perkusi tradisional dan penggaran olah vokal yang tetap menghadirkan rasa dan nuansa kerakyatan.